Tentunya masih segar diingatan kita kecelakaan motor yang menewaskan Ustad Jefri al-Buchori. Dilihat dari banyaknya orang yang melayat dan menyembahyangkan jenazah Ustad Jefri al-Buchori atau yang biasa disebut Uje, banyak orang Indonesia yang merasa kehilangan. Samapi 40 harinya pun orang yang mendoakan Uje masih bejubel dan rumah beliau sampai tidak muat untuk menampung orang yang ingin mendoakan beliau.
Air mata banyak tumpah mengiringi kematian beliau, wartawan pun merapat ke kediaman beliau untuk meliput. Bahkan ada salah satu media televisi meliputnya secara eksklusif kematian Uje, mulai dari hari pertama beliau meninggal hingga tujuh harinya ditayangkan secara langsung. Orang-orang terdekat Uje diwawancarai dan diminta untuk bercerita seputar kehidupan Uje semasa hidupnya.
Peliputan media atas kematian uje ini secara sekilas memang baik sehingga masyarakat Indonesia tahu dan secara langsung bisa mendoakan Uje dari rumahnya masing-masing. Peran utama media memang menyampaikan apa yang ingin diketahui media dan tentunya berita tersebut layak konsumsi. Tapi belakangan ini peran media bergeser menjadi pemaksa masyarakat untuk mengkonsumsi berita yang disajikannya, berita tak penting yang selalu ditayangkan berulang-ulang kali. Kalau anda jeli memperhatikan perilaku media dalam menyajikan berita waktu meninggalnya Uje mulai dari hari pertama hingga hari ketujuh meninggalnya beliau, anda akan banyak menemukan berita-berita tak layak konsumsi yang berulang-ulang kali disajikan dilaya televisi anda.
Ekspos berlebihan oleh media terhadap keluarga Uje sudah bisa dikatakan diluar batas. Bahkan salah satu televisi swasta kita kesannya ingin mengorbitkan putra putri beliau untuk menjadi artis. Putri beliau yang bernama Adibah dicitrakan menjadi penyanyi lagus Islami, kebetulan meninggalnya Uje mejelang puasa dan momentnya menurut media sangat pas untuk mengorbitkan dan membentuk sesuai yang telah disetting oleh media.
Pasca kematian Uje keluarganya mendadak menjadi artis yang kesehariannya diliput media dan dikejar-kejar wartawan untuk dijadikan bahan berita. Banyak artis-artis yang datang ke rumah almarhum (dan tentunya dengan membawa wartawan infotaiment) dengan berbagai kepentingan masing-masing, mulai dari yang sekedar mengucapkan bela sungkawa agar bisa diliput media dan dijadikan berita, membuat agenda sendiri dari menajemennya yang berkaitan dengan Uje, hingga artis yang mengadakan acara di rumah Uje dengan settingan media.
Ketika bulan puasa seperti sekarang ini aktivitas keluarga Uje seperti berbuka puasa juga tidak luput dari liputan media bahkan juga masih ramai dari kunjungan artis dan membuat acara buka bareng dengan keluarga almarhum Uje. Mendadak artis itulah keluarga Uje yang sekarang, seperti dulu ketika meninggalnya michle jackson yang tiba-tiba segala aktivitas keluarganya diliput oleh media seluruh dunia. Tapi hal itu tidak bertahan lama, dan itu juga akan berlaku dengan keluarga Uje.
Media tidak akan meliput lagi segala aktivitas keluarga Uje ketika tak layak jual di mata media. It'a all about business. Kematian Uje diliput besar-besaran oleh media karena Uje punya fans yang punya nilai jual ekonomis dan itu tidak disia-siakan oleh media ketika Uje meninggal untuk mengeruk keuntungan dari berita-berita yang disajikan terkait kematian Uje dan keluarga yang ditinggalkannya.
Anda sudah pada tahu kalau semasa hidup Uje beliau tidak hanya menjadi dai tapi juga merangkap artis, menjadi penyanyi, menjadi bintang iklan, dll. Inilah yang membuat Uje dikenal masyarakat Indonesia dan dapat mengumpulkan fans banyak dimana mereka tidak selalu mengagumi Uje karena ceramah agamanya. Ada hal-hal lain yang layak jual dalam diri Uje selain ceramah agama yang disampaikan diatas mimbar dengan sorotan kamera televisi.
Cara Instan Para Penulis Maraup Untung Dari Kematian Uje
Tidak hanya media televis yang meraup untuk dari kematian Uje, media cetak seperti majalah dan khususnya buku dengan cepatnya bak jamur dimusim hujan terbit yang mengulas tentang Uje, mulai dari perjalan hidup Uje dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Uje, anda akan dengan mudahnya menemukan buku-buku tersebut kalau berkunjung ke toko-toko buku terdekat.
Penulis-penulis baru yang masih diragukan kredibilitasnya bermunculan mengulas biografi dan sepak terjang Uje semasa hidupnya. Tren buku cepat ini di Indoesia belakangan ini memang lagi tren, tergantung isu yang lagi hangat. Namun ini sering kali tidak mengedapnkan kualitas, mereka hanya mengikuti moment dan hanya membuat judul menarik yang dipoles sedemikian rupa agar pembeli buku tersebut mudah tertipu dan membelinya.
Menulis biografi Uje sah-sah saja asal didukung dengan data-data yang akurat kalau perlu pengalaman empiris seperti orang-orang terdekat Uje. Tapi yang namanya pengerjaan tulisan yang berkualitas biasanya tidak secepat buku-buku yang beredar di pasaran pasca kematian Uje. Proses penulisan dan analisa data yang dipunyai juga membutuhkan waktu lama, belum untuk menyusun kalimat-kalimat agar mudah dicerna dan berkesan tidak murahan.
Kongklikong dunia penerbitan buku dan penulis-penulis yang mengejar honor semata memang bukan hal baru. Mereka menulis bukan untuk sebuah kebenaran dan kadang tidak bisa mempertanggung jawabkan apa yang ditulisnya dibuku, yang terpikirkan dalam benak mereka hanya materi saja meski terhadang harus copy paste dari buku lain, majalah, internet, dan koran.
Dalam tulisan ini sama sekali tidak mau menjelek-jelekan Uje dan keluarganya, saya cuma prihatin saja terhadap keluarganya yang dimanfaatkan oleh media kepentingan materi mereka. Mari kita tetap berdoa untuk almarhum Ustad Jefri al-Buchori agar segala amal dan kebaikannya diterima di sisi Tuhan dan keluarga yang ditinggalnya tetap tabah dalam menjalani hari-harinya tanpa Uje.
Air mata banyak tumpah mengiringi kematian beliau, wartawan pun merapat ke kediaman beliau untuk meliput. Bahkan ada salah satu media televisi meliputnya secara eksklusif kematian Uje, mulai dari hari pertama beliau meninggal hingga tujuh harinya ditayangkan secara langsung. Orang-orang terdekat Uje diwawancarai dan diminta untuk bercerita seputar kehidupan Uje semasa hidupnya.
Peliputan media atas kematian uje ini secara sekilas memang baik sehingga masyarakat Indonesia tahu dan secara langsung bisa mendoakan Uje dari rumahnya masing-masing. Peran utama media memang menyampaikan apa yang ingin diketahui media dan tentunya berita tersebut layak konsumsi. Tapi belakangan ini peran media bergeser menjadi pemaksa masyarakat untuk mengkonsumsi berita yang disajikannya, berita tak penting yang selalu ditayangkan berulang-ulang kali. Kalau anda jeli memperhatikan perilaku media dalam menyajikan berita waktu meninggalnya Uje mulai dari hari pertama hingga hari ketujuh meninggalnya beliau, anda akan banyak menemukan berita-berita tak layak konsumsi yang berulang-ulang kali disajikan dilaya televisi anda.
Ekspos berlebihan oleh media terhadap keluarga Uje sudah bisa dikatakan diluar batas. Bahkan salah satu televisi swasta kita kesannya ingin mengorbitkan putra putri beliau untuk menjadi artis. Putri beliau yang bernama Adibah dicitrakan menjadi penyanyi lagus Islami, kebetulan meninggalnya Uje mejelang puasa dan momentnya menurut media sangat pas untuk mengorbitkan dan membentuk sesuai yang telah disetting oleh media.
Pasca kematian Uje keluarganya mendadak menjadi artis yang kesehariannya diliput media dan dikejar-kejar wartawan untuk dijadikan bahan berita. Banyak artis-artis yang datang ke rumah almarhum (dan tentunya dengan membawa wartawan infotaiment) dengan berbagai kepentingan masing-masing, mulai dari yang sekedar mengucapkan bela sungkawa agar bisa diliput media dan dijadikan berita, membuat agenda sendiri dari menajemennya yang berkaitan dengan Uje, hingga artis yang mengadakan acara di rumah Uje dengan settingan media.
Ketika bulan puasa seperti sekarang ini aktivitas keluarga Uje seperti berbuka puasa juga tidak luput dari liputan media bahkan juga masih ramai dari kunjungan artis dan membuat acara buka bareng dengan keluarga almarhum Uje. Mendadak artis itulah keluarga Uje yang sekarang, seperti dulu ketika meninggalnya michle jackson yang tiba-tiba segala aktivitas keluarganya diliput oleh media seluruh dunia. Tapi hal itu tidak bertahan lama, dan itu juga akan berlaku dengan keluarga Uje.
Media tidak akan meliput lagi segala aktivitas keluarga Uje ketika tak layak jual di mata media. It'a all about business. Kematian Uje diliput besar-besaran oleh media karena Uje punya fans yang punya nilai jual ekonomis dan itu tidak disia-siakan oleh media ketika Uje meninggal untuk mengeruk keuntungan dari berita-berita yang disajikan terkait kematian Uje dan keluarga yang ditinggalkannya.
Anda sudah pada tahu kalau semasa hidup Uje beliau tidak hanya menjadi dai tapi juga merangkap artis, menjadi penyanyi, menjadi bintang iklan, dll. Inilah yang membuat Uje dikenal masyarakat Indonesia dan dapat mengumpulkan fans banyak dimana mereka tidak selalu mengagumi Uje karena ceramah agamanya. Ada hal-hal lain yang layak jual dalam diri Uje selain ceramah agama yang disampaikan diatas mimbar dengan sorotan kamera televisi.
Cara Instan Para Penulis Maraup Untung Dari Kematian Uje
Tidak hanya media televis yang meraup untuk dari kematian Uje, media cetak seperti majalah dan khususnya buku dengan cepatnya bak jamur dimusim hujan terbit yang mengulas tentang Uje, mulai dari perjalan hidup Uje dan segala sesuatu yang berkaitan dengan Uje, anda akan dengan mudahnya menemukan buku-buku tersebut kalau berkunjung ke toko-toko buku terdekat.
Penulis-penulis baru yang masih diragukan kredibilitasnya bermunculan mengulas biografi dan sepak terjang Uje semasa hidupnya. Tren buku cepat ini di Indoesia belakangan ini memang lagi tren, tergantung isu yang lagi hangat. Namun ini sering kali tidak mengedapnkan kualitas, mereka hanya mengikuti moment dan hanya membuat judul menarik yang dipoles sedemikian rupa agar pembeli buku tersebut mudah tertipu dan membelinya.
Menulis biografi Uje sah-sah saja asal didukung dengan data-data yang akurat kalau perlu pengalaman empiris seperti orang-orang terdekat Uje. Tapi yang namanya pengerjaan tulisan yang berkualitas biasanya tidak secepat buku-buku yang beredar di pasaran pasca kematian Uje. Proses penulisan dan analisa data yang dipunyai juga membutuhkan waktu lama, belum untuk menyusun kalimat-kalimat agar mudah dicerna dan berkesan tidak murahan.
Kongklikong dunia penerbitan buku dan penulis-penulis yang mengejar honor semata memang bukan hal baru. Mereka menulis bukan untuk sebuah kebenaran dan kadang tidak bisa mempertanggung jawabkan apa yang ditulisnya dibuku, yang terpikirkan dalam benak mereka hanya materi saja meski terhadang harus copy paste dari buku lain, majalah, internet, dan koran.
Dalam tulisan ini sama sekali tidak mau menjelek-jelekan Uje dan keluarganya, saya cuma prihatin saja terhadap keluarganya yang dimanfaatkan oleh media kepentingan materi mereka. Mari kita tetap berdoa untuk almarhum Ustad Jefri al-Buchori agar segala amal dan kebaikannya diterima di sisi Tuhan dan keluarga yang ditinggalnya tetap tabah dalam menjalani hari-harinya tanpa Uje.