Reorientasi Falsafah Kepemimpinan

Orientasi dan eksistensi falsafah kempimpinan di negeri ini sudah semakin jauh dari makna yang telah digariskan. Sosok pemimpin di negeri ini tak lagi mencerminkana sikap dan jiwa kepemimpinannya yang selalu mementingkan kepentingan pribadi dan kolompoko kecilnya. Sosok kepemimpinan negara Indonesia tidak pernah mengalami titik terang.

Dari tahun ke tahun, masyarakat selalu mendambakan pemimpin yang ideal di negeri tercinta ini. Bahkan sudah berkali-kali pesta demokrasi digelar di negeri tercinta, menghabiskan uang rakyat hingga mencapai triliunan rupiah. Tapi hasilnya tetap dan malah tambah parah dari pemimpin sebelumnya.

Rakyat tak kunjung menemukan sosok pemimpin yang dapat membawa pada ketenangan, ketentraman, kekeluargaan, kesejahteraan, kemakmuran, dan menjadi teladanan bagi rakyat. Yang ada hanya penggantian pemimpin yang diwarnai dengan saling tidak percaya satu sama lain, kekerasan, suap-menyuap, dan sikap ketidakdewasaan dalam berpolitik.

Era reformasi yang diarapkan mampu memperbaiki tatanan kenegaraan pasca runtuhnya tangan besi orde baru tak kunjung menemukan titik terang hingga sekarang. Reformasi besar-besaran itu tak lebih dari sekedar perayaan tak bermakan yang telah banyak merenggut banyak nyawa mahasiswa kita di seluruh Indonesia.

Setelah kran dekokrasi terbuka lebar para negarawan seperti lepas kendali dengan berbagai pola politiknya yang tak masuk akal dan menghalalkan segala cara demi tujuan pribadi dan partainya dan mengesampingkan kepentingan rakyat yang telah menjadi tugasnya dalam sumpah terima jabatan. Karena rakyat adalah pemilik kedaulatan.

Beginilah Pemimpin Seharusnya
Menurut M. Salyahya soerang pemimpin (leader) adalah gambaran manusia yang senantiasa berada ditengah komunitas masyarakat, tiada henti-hentinya berfikir, berusaha memahami situasi dan kondisi serta berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat merupakan manisfestasi dari aspirasi – aspirasi individu yang kemudian menjadi cita-cita bersama.

Pemimpin juga tidak pernah mengenal kata-kata lelah, tetap optimis dan penuh semangat untuk berjuang dan terus berjuang demi terwujudnya cita-cita masyarakat. Oleh karena itu, bisa ditarik kesimpulan betapa berat beban dan tantangan seorang pemimpin. Bahwa modal seorang pemimpin bukan sekedar tumpukan harta untu kampanye lalu menebar janji-janji manis yang tidak mau dijalaninya setelah terpilih.

Pada akhirnya rakyatlah yang menjadi korban dari keganasan berpolitik negarawan kita. Karena rakyat Indonesia masih gampang tertipu dengan hal-hal yang bersifat iming-iming janji-janji palsu dan pemberian cendra mata yang bersifat sesaat. Inilah potret politik pemimpin kita selama ini.

Pemimpin bukan sekedar menduduki jabatan tertinggi disuatu organisasi, tapi bagaimana mampu memberikan —seperti yang disebutkan diatas tadi— ketenangan, ketentraman, kekeluargaan, kesejahteraan, kemakmuran, dan menjadi teladanan bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Karena bagaimanapun masyarakat (sebagai orang yang dipimpin) mselalu menginginkan seorang pemimpin yang tangguh dan jujur, memiliki intelektualitas, dedikasi, keberanian, kearifan, dan adil dan bertanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat.

Untuk menjadi pemimpin modal pintar saja belum cukup apabila tidak dibarengi dengan kejujuran dan keadilan. Kemudian Keberanian untuk berlaku jujur dan adil serta mampu memperlakukan sama dalam pandangan hukum, sosial dan politik.

2 komentar: