Civic-Minded Pluralisme Pesantren


Civic-Minded secara umum mendefinisikan keprihatinan kita atau lebih tepatnya memikir-kan kepentingan umum. Sebagaimana dengan pluralisme itu sendiri yang mencari titik-titik persamaan dan mengurangi sekecil mungkin titik-titik perbedaan hingga tercipta masyarakat yang kondusif dengan saling menghargai dan menghormati.

Dan yang seperti sudah-sudah kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara plural yang dihuni oleh manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, dan agama. Mungkin faktor inilah, Robert W. Hefner, menyebut Indonesia sebagai negara yang kaya akan “pluralist endowments” (Hefner 2005: 122). Dari perspektif sosiologis, realitas bangsa Indonesia yang beragam ini adalah sesuatu yang “given” atau sunatullah dalam bahasa kaum santri, tetapi merupakan buah dari proses sosial-budaya yang sangat panjang yang melibatkan berbagai agen atau aktor sejarah dari berbagai suku-bangsa.

Ketika kita flashback pada konflik agama yang telah berlalu harusnya menjadi pelajaran untuk bagaimana kedepannya tidak terulang lagi dan jadikan cerminan dalam mengambil sikap terhadap suatu tindakan yang kiranya menghancurkan kerukunan. Maka membangun pergaulan sejati dengan umat lain harusnya menjadi prioritas

Dewasa ini —khususnya para santri— selalu memiliki prasangka buruk terhadap agama dan umat lain. Melihat agama lain sebagai saingan tentunya bukanlah hal yang baru, doktrin ini telah terbangun dan terbentuk sejak lama, bahkan sejak perang salib dikobarkan oleh bangsa Eropa hingga sampai pada seorang politikus Amerika Serikat yang terkenal seperti Samuel P. Huntington dalam tulisannya yang mengatakan bahwa kemajuan peradaban Islam adalah sebuah ancaman yang sangat besar bagi umat Kristen. Tampaknya hal ini harus di artikan bahwa tidak semua umat Kristen berpikiran dan menyetujui hal yang sama dengan Samuel P. Huntington

Ketika Crisis Center GKI (Gereja Kristen Indonesia) bekerjasama dengan Wahid Institut dalam membuat program Islamologi dan Pluralisme dengan maksud agar umat kristen diberikan wawasan dan pengetahuan tentang Islam dan pluralisme, begitu juga sebaliknya —agar umat Islam juga tidak hidup dalam kecurigaan yang tinggi bahwa umat Kristen selama ini telah banyak melakukan kristenisasi terhadap umat Islam

Tentu karjasama ini akan saling membuka diri antara umat beragama dan saling menerima satu sama lain dan akibatnya (semoga) tidak lagi terjadi konflik yang selalu mengatasnamakan agama dan tetap menjunjung tinggi “Bhinneka Tunggal Ika” yang telah menjadi ketentuan negara kita dan kita santri harus mengakui hal itu

Perlu diluruskan bahwa pluralisme bukanlah sebuah persoalaan keagamaan, pluralisme hadir sebagai sebuah jawaban dari kemajemukan masyarakat. Pluralisme tidak bertujuan untuk menyamaratakan semua agama, inilah yang sering menjadi titik persoalan, bahwa banyak orang masih menganggap pluralisme bertujuan untuk menyamaratakan semua agama.

Kalau ditinjau dari segi keimanan, pluralisme bukanlah sebagai pengganggu terhadap iman pribadi kita. Justru dengan pluralisme kita di ajak untuk melihat kedalam. Ciri umat beragama yang berani berdialog dengan tulus, adalah umat yang memahami siapa dirinya. Hingga menyadarkan kita dalam memeluk agama Islam bukan karena ayah dan ibu kita Islam. Ketika umat itu belum berani untuk terbuka dan berdialog berarti umat itu belum memahami siapa diri mereka dan tidak mengenal diri mereka sendiri.

Karena ketika kita berani untuk terbuka itu menandakan kedewasaan kehidupan beragama kita, karena itu berarti kita sudah siap untuk di kritik, kita telah siap dengan perbedaan, dan persamaan. Sehingga apapun agama kita, itu tidak akan menjadi penghalang bagi kita untuk membangun pergaulan sejati, karena pluralisme hadir bukan karena kita semua sama, tetapi karena kesederajatan kita sebagai makhluk paling mulia yang diciptakan sama oleh Tuhan Allah.

Harus disadari juga bahwa kita sebagai mahkluk sosial tidak dapat menjalani kehidupan seorang diri dalam komunitas dan pergaulan yang sempit, oleh sebab itu kita harus membangun pergaulan dengan umat beragama lain dengan pemahaman pluralisme yang berwawasan kebangsaan yang luas dan bersikap plural adalah solusinya.

Menanamkan Sikap Plural Pada Santri

Sebenarnya pluralisme bukanlah hal yang baru dalam dunia pesantren, hanya saja sebagian pesantren enggan untuk memperkanlakan pluralisme itu sendiri kepada santrinya. Kendati pesantren menolaknya pluralisme sebagai sebagai keilmuan yang harus dipelajari santrinya, toh plural sendiri sudah menjadi sesuatu yang given (kedrati) bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia termasuk santri dan kyai itu sendiri.

Perkembangan global sudah kadung menguasai sebagian dari “tubuh” pondok pesantren otomatis interaksi para santri tidak cuma dengan kalangan kaum sarung saja, dan ketika santri harus dihadapkan pada kenyataan yang sebelumnya dianggap tabu ‘mau tidak mau’ sikap plural harus menjadi bagian dari santri.

Sebuah ketidak mungkinan jikalau santri serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan konstruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru didepan mata, sangat jelas ini akan merugikan diri sendiri di kemudian hari. Meninggalkan tradisi lama bagi pesantren juga merupakan hal yang keliru, seolah-olah kita melupakan identitas dan sejarah kita yang tentu juga kaya akan makna dan simbol luhur (kesederhanaan, keikhlasan, keseteraan dll) dan sangat tidak bijak juga kalau mengatakan sesuatu yang lama itu buruk, kolot, ketinggalan zaman dan sebagainya.

Perlu ditekankan lagi bahwa sikap plural dan faham pluralisme tidaklah menjerumuskan santri pada pemikiran dan sikap yang melupkan eksistensi dari santri itu sendiri. Pluralisme hanya mencoba memberi jalan tengah antara tradisi lama dengan perkembangan sekarang yang sudah tidak mungkin dielakkan lagi, dan bagaimana memaknai sesuatu yang terjadi dihadapan mata bisa dimaknai secara plural

Kadang kala sebagian santri, karena tidak mempunyai faham pluralisme, serta merta menyalahkan golongan lain yang tidak sama dengan golongannya sendiri. Sikap seperti ini tentu saja mengganggu ketentraman kerukunan hidup bersama dalam perbedaan ajaran, pemikiran, budaya dan semacamnya.

Selebihnya ketika seorang santri dituntut bersikap plural. Dalam konteks bangsa Indonesia yang pluralistik, maka ‘pluralisme civic’ adalah jenis “tafsir” terbaik untuk menyikapi kemajemukan etnis, budaya, dan agama negeri ini. Pesantren sebagai kekuatan civil society yang berwatak (seharunsya) pluralis dan toleran sudah sepatutnya menjadi agen “civic pluralism” ini untuk menjaga kosmos Indonesia agar tetap damai dan harmonis.

Di tengah munculnya sejumlah kelompok keislaman garis keras yang radikal-militan yang hobinya melakukan tindakan kekerasan, maka pesantren harus tampil ke depan sebagai “vanguard” gerakan-gerakan keislaman yang bercorak toleran-pluralis demi terciptanya stabilitas bangsa, kehidupan harmoni, perdamain sejati, democratic civility, dan citizenship culture yang menghargai hak-hak setiap warga negara yang hidup di bumi Indonesia, serta bebas dari segala bentuk kekerasan agama yang hanya menambah kesengsaraan dan penderitaan rakyat


dimuat di Radar Madura 19 Februari 2010




0 komentar:

Posting Komentar