Saat Mengusir Wim Rijsbergen

Saat Mengusir Wim Rijsbergen dari dunia per-sepak bola-an nasional. SDM kita untuk melatih Bambang Pamungkas dkk sudah cukup mumpuni dari pada seorang Wim Rijsbergen yang tak pernah menyisihkan prestasi selama melatih TIMNAS (malah sebaliknya bikin pemain stress). Sudah berkali-kali rakayat Indonesia memberi kesempatan dan menaruh harapan besar kepada Wim Rijsbergen, tapi hasilnya tetap nihil dan malah semakin menambah kekesalan terhadap sikap Wim Rijsbergen ketika di lapangan.

Inilah faktor tidak majunya per-sepak bola-an di negara kita, pemerintah kita tidak menghargai "bibit-bibit unggul" nusantara. Kita punya banyak pemain bertalenta tinggi, tapi PSSI malah getol menaturalisasi pemain dari luar. Implikasinya, pemain yang kita punya dengan kualitas tinggi tidak terjamah sedikipun meski sebenarnya kemampuan mereka melebih pamain naturalisasi tersebut.

Kita kembali ke masalah Wim Rijsbergen. Soal pelatih PSSI juga buta (dibutakan uang) akan potensi yang dimiliki negeri ini. PSSI seakan tidak (mau) melihat kemampuan Rahmad Darmawan yang sudah mampu mengantarkan TIMNAS Junior menjadi juara II di SEA GAMES 2011 kemaren. Entah karena faktor apa PSSI tidak memilih Rahmad Darmawan sebagai palatih TIMNAS Senior.

Kemampuan Rahmad Darmawan dalam mengatur strategi dilapangan hijau semakin tampak ketika TIMNAS menjamu klub elit Amerika LA Galaxy yang hanya mengungguli 0-1 atas pemain TIMAS kita. Pertandingan itu menyisakan banyak kekaguman terhadap seorang Rahmad Darmawan karena mampu mengoptimalkan permainan antara TIMNAS Junior dan TIMNAS Senior yang dikolaborasi dalam satu lapangan hijau.

Pelatih kita (Rahmad Darmawan) lebih layak melatih TIMNAS dari pada Wim Rijsbergen. Karena pelatih lokal mampu menciptakan komunikasi yang baik dengan pemain, yang hal ini sangat berpengaruh terhadap performa pemain ketika di lapangan. Kesuksesan pemain dilapangan hijau kuncinya adalah komunikasi yang searah. Dengan satu bahasa saja akan mampu menciptakan komunikasi yang baik dan memungkinkan lahirnya pola hubungan emosional antara pelatih-pemain layaknya bapak-anak.

Maka tak ada alasan lagi untuk tidak menggantikan Wim Rijsbergen dengan Rahmad Darmawan. Petinggi-petinggi PSSI sudah terlalu berdosa terhadap rakyat Indonesia dan khususnya pemain sepak bola kita.

0 komentar:

Posting Komentar