“Sedara Cinta” dan Sedikit Bumbu Tidak Sedap


Ketika cinta yang luar biasa itu diungkapkan dengan sederhana, maka yang tersaji di hadapan kita adalah sebuah paradoks yang luar biasa. Ketika keikhlasan mencintai mengantar pada kesadaran untuk berkorban bagi dia yang dicintai, dan itu disebut sebagai sebuah cinta yang sederhana saja, adakah paradoks yang lebih hebat daripada itu?

Keikhlasan itu, cinta itu tak sempat diucapkan. Bahkan bila pun ia hanya sebagai isyarat. Si aku telah melakukan cinta itu. Ia menunjukkan dengan perbuatan, tanpa berharap, cinta itu dibalas. Ia mungkin bahkan tak berharap di engkau yang ia cintai itu tahu bahwa ia mencintainya. Inilah paradoks lain dalam sajak ini. Cinta yang menawarkan cara mencintai yang berbeda dengan cinta yang kebanyakan kita lakoni saat ini. Padahal sebetulnya, pada hakikatnya, begitulah cinta yang sesejatinya itu. (Sapardi Djoko Damono, 1980)

Apa mungkin karena inspirasi kata-kata diatas Hermes Dione sang penulis novel “Sedara Cinta” ini menulis ulang kisah-kisah cinta layaknya penulis-penulis sebalumnya. Lebih tepatnya temengikuti alur “konvensional” dengan ending “itu-itu saja”, yang selama hidupnya tokoh utama selalu disibukkan dengan urusan cinta

Secara logika kalau kita melihat zaman yang semakin modern ini memang jarang sekali menemukan cinta “sedalam” cintanya Yasrak terhadap Pipiet. Yangmana seorang Yasrak yang berprofesi sebagai jurnalis seakan hidupnya hanya dihabisnya untuk memikirkan pujaan hatinya, Pipiet. Seakan kegiatan-kegiatan menulis Yasrak yang begitu memakan pikiran tak sedikitpun menggreser bayangan-bayangan indah Pipiet yang selalu “bergentayangan” didalam otaknya.

Bumbu Tidak Sedap Itu Bernama “CINTA”

Begitu AAC (Ayat-Ayat Cinta) sukses besar langsung saja semua penulis banting setir menulis tentang cinta, memang sih cinta itu luas tapi kenapa tidak melihat cinta bukan dari sisi dua orang berlainan jenis yang saling mencintai, kenapa tidak melihat sisi lain dari cinta yang lain, lihat dari sudut pandang yang orang tidak pernah lirik, biar bacaan lebih variatif, dan tentunya harus mendidik

Penulis bukannya menafikan masalah “cinta”, karena bagi penulis sendiri cinta adalah sebuah kekuatan yang dahsyat. Sebuah energi melimpah, bukannya sesuatu yang menyengsarakan dan pahit peduh derita, seperti halnya nasib “malang” Yasrak, yang secara batin begitu ‘sengsara’ meski kadang tersenyum dengan senyuman palsunya

Sungguh sangat disayangkan karena definisi cinta yang begitu luas, kayaknya sekarang sudah jamak kalau cinta selalu berbau perasaan dua insan yang penuh romantisme. Begitulah dunia per-novel-an negara kita, saat ini begitu gampangnya orang/penulis membuat cerita tentang cinta, lantaran sebuah novel yang bertema tentang cinta laku keras dipasaran. Istilahnya “latah”. Apa-apa cinta. Gini-gitu cinta. Padahal belum tentu cerita-cerita cinta yang muncul belakangan mutunya benar-benar bagus dan ada nilai positif yang bisa diambil didalamnya. Mereka terkesan hanya mau ikut-ikutan ngetop tapi membuat cerita asal jadi saja.

Maka kiranya penulis-penulis Indonesia (khususnya penulis novel) lebih memperhatikan aspek bobot nilai cerita yang disugukan pada masyarakat Indonesia, bahwa cerita adalah media yang bagus dan efektif untuk menyampaikan nilai-nilai positif apalagi di kalangan awam. Yang tak seharusnya selalu dijejali dengan cerita-cerit cinta yang terkadang “kering manfaat”. Tapi yang jadi permasalahan adalah jalan cerita itu sendiri. Kebanyakan Novel-Novel di negara kita Indonesia lebih menceritakan tentang cinta-cinta yang terkadang kebablasan hingga menjuru pada cerita cinta berbalut nafsu.

2 komentar: