Revitalisasi Pendidikan Multikulturisme di Pesantren

Pesantren dengan berbagai santri yang datang dari semua penjuru nusantra memungkinkan dunia pesatren lebih berwarna dengan berbagai campuran ras, budaya dan tradisi —yang lebih dikenal dengan sebutan multikultur— yang terkumpul dalm satu wadah ‘bilik pesantren’. Interaksi sosial pun lebih berpotensi mengembangkan kemandirian santri dalam pergaulan sehari-hari untuk lebih dewasa dalam mengahadapi segala perbedaan yang ada.

Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multicultural” Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural dan multi-lingual”.

Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.

Disadari pula bahwa pesantren adalah komunitas multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis para santri yang mondok yang begitu beragam dan luas. Karena itulah pesantren membutuhkan pendidikan multikultural yang menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada pada santri, khususnya yang ada pada santri yang dengan keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll.

Amerika Serikat, negara adidaya, ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan.

Melalui pendekatan inilah, pendidikan multikultural, dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat telah berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey.

Selain itu yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau ustadz tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran semacam nahwu, fiqih wa akhawtuha. Lebih dari itu, seorang ustadz juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada santri.

Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari pondok pesantren tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, yaitu fiqih dan nahwu saja, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.

Vitalitas Pendidikan Multikulturisme Persepektif al-Qur’an

Al-qur’an yang selalu menjawab semua kompleksitas permasalahan juga merangkan karakteristik-karakteristik anak didik khususnya santri, diformulasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an sebagai back up strategis (baca:dalil), bahwa konsep pendidikan multikultural ternyata selaras dengan ajaran-ajaran Islam dalam mengatur tatanan hidup manusia di muka bumi ini, terutama sekali dalam konteks pendidikan.

Pertama; karakteristik belajar hidup dalam perbedaan. Selama ini pendidikan lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik. Kemudian dalam realitas kehidupan yang plural, ketiga pilar tersebut kurang mumpuni dalam menjawab relevansi masyarakat yang semakin majemuk.

Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra personal. Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat:13 yang menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa, serta interprestasi yang berbeda-beda. Hal ini juga dipertegas dengan sikap Nabi yang berdiam diri ketika ada dua sahabatnya yang berbeda pendapat dalam suatu ketentuan hukum.

Kedua; membangun tiga aspek mutual, yaitu membangun saling percaya (mutual trust), memahami saling pengertian (mutual understanding), dan menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak.

Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain (Q.S. al-Hujurat:12), tidak mudah memvonis dan selalu mengedepankan klarifikasi (Q.S. al-Hujurat:6), serta ayat yang menegaskan prinsip tidak ada paksaan (Q.S. al-Baqoroh:256).

Ketiga; terbuka dalam berfikir. Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Peserta didik didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan keterkekangan dalam berfikir.

Penghargaan al-Qur’an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa konsep ajaran Islampun sangat responsif terhadap konsep berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan betapa tingginya derajat orang yang berilmu (Q.S. al-Mujadallah:11), atau ayat yang menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal kejumudan dan dogmatisme (Q.S. al-Baqarah:170).

Keempat; apresiasi dan interdependensi. Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis.

Konsep seperti ini banyak termaktub dalam al-Qur’an, salah satunya Q.S. al-Maidah:2 yang menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan, memelihara solidaritas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghindari tolong menolong dalam kejahatan.

Kelima; resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan. Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness).

Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk (Q.S. asy-Syura:40), dan secara tegas al-Qur’an juga menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang (Q.S. Ali Imran:139).

4 komentar:

  1. Intinya..saling membri dan brbagi, datangx dr hati. Hati pusat utama untuk mengontrol indra yg lain..dr hati bsa timbul pikiran terbuka..

    BalasHapus
  2. Pesantren2 sekarang dh mulai mengikuti perkembangan jaman ya..

    BalasHapus
  3. Yupzz mas, pesantren bukan sekedar belajar kita kuning saja

    BalasHapus
  4. hi,,, postingan yang kren,, link back yah,,, ditunggu

    http://heningjurnal.blogspot.com/

    BalasHapus