Dilema Mahasiswa Dalam Beropini

Photobucket

Sejatinya tidak semua mahasiswa mampu beropini di koran, hal ini karena keterbatasan SDM mahasiswa yang masih jauh dari budaya membaca. Sudah menjadi hukum alam bahwa untuk menghasilkan sebuah karya, baik dalam bentuk opini atau pun dalam bentuk karya lainnya selalu mengharuskan penulis gemar membaca dan peka terhadap keadaan sosial.

Apalagi opini koran yang memang menuntut penulisnya selalu up to date dalam berbagai informasi aktual. Sementara mahasiswa kita masih lebih banyak mengutamakan hal-hal tidak penting, seperti menghabiskan waktu di pinggir jalan untuk nongkrong dan semacamnya. Inilah yang menjadi celah, kenapa opini-opini di koran dari kalangan mahasiswa sangat minim sekali.

Menuangkan uneg-uneg dalam bentuk opini di kalangan mahasiswa semakin menemukan jalan terjal yang tak mudah bagi mahsiswa untuk meninggalkannya, yaitu virus jejaring sosial. Mahasiswa lebih memilih jejaring sosial untuk menumpahkan segala aspirasi ke jejaring sosial, karena memang tidak membutuhkan gaya penulisan yang ilmiyah dan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiyah.

Jejaring sosial yang siapa saja boleh mengeluarkan apa yang ada di benaknya, juga membolehkan berkata apa saja, kendati tidak sopan sekalipun. Menurut penulis sendiri, jejaring sosial perannya sangat penting dalam membunuh krakter ilmiyah seorang mahasiswa, yang selama ini dikenal kritis.

Namun ada satu hal lagi yang membuat mahasiswa tidak bisa beropini di koran, yaitu koran harian itu sendiri. Koran yang selalu money oriented terhadap opini yang dimuatnya, membuat mahasiswa tidak bisa berbuat apa-apa. Ada sebagian teman-teman penulis yang mengatakan kalau koran itu lebih mengutamakan (memuat) opini-opini orang “penting” ketimbang opininya mahasiswa. Meski pun pada kenyataannya banyak ditemuai opini-opini mahasiswa lebih kritis.

Bisa kita lihat, setiap hari opini yang menghiasi koran harian kita, mulai dari koran lokal hingga koran nasional, jarang sekali ditemui opini mahasiswa yang mampu menembus redaktur opini koran. Kendati ada opini mahasiswa, itu pun hanya dikhususkan untuk mahasiswa, yakni “rubrik untuk mahasiswa”.

Kenyataannya memang tendensi sekali dari pihak koran harian, tapi begitulah, negara kita masih selalu mengutamakan hal-hal yang menurut pasar dianggapnya penting, tapi kosong manfaat dengan apa yang dibacanya. Ini ironi negara kita dalam membentuk kekritisan generasinya.

Terlepas dari semua itu, ternyata masih ada mahasiswa yang memaksakan diri untuk bisa menembus “benteng pertahanan” redaktur opini sebuah koran, dengan cara menyembunyikan identitasnya sebagai mahasiswa. Dengan cara berpura-pura menjadi pengurus penting sebuah LSM yang memang ada kaitannya dengan tulisan yang sedang diusungnya.

Tidak sedikit dari mahasiswa kita yang kritis namun tidak mampu beropini di koran, hanya saja tidak pernah diberi kesempatan oleh media harian yang merupakan peran utama dalam menyampaikan opini mahasiswa. Maka bukanlah sesuatu yang salah jika mahasiswa lebih memilih jejaring sosial sebagai media penyaluran aspirasinya yang terpendam —yang berakhir pada pembunuhan krakter kritis mahasiswa itu sendiri. Dan sifat-sifat ilmiyah mahasiswa juga ikut terpendam dan menghilang tanpa bekas, karena seperti yang dikatakan diatas, update status di jejaring sosial memang tidak membutuhkan atribut-atribut yang mengatur dunia kepenulisannya.

Akhir kata, mahasiswa dan semua peserta dalam kompetisi ini, penulis yakin semuanya juga ingin sekali bisa menyuarakan aspirasi dan isi hatinya (dalam bentuk opini) di koran harian, yang masih cukup efektif untuk saat ini. Dan harapan penulis kedepannya, media harian tidak lagi mengeksploitasi opini yang bersumber dari mahasiswa.

Penulis juga memaklumi atas segala kemungkinan kecurang mahasiswa dalam membuat opini dengan cara copas dan mengatasnamakan dirinya. Tapi bukankah itu adalah tugas redaktur opini sebuah koran harian untuk lebih jeli lagi dalam memilih opini-opini yang masuk ke redaksinya. Bukan tidak mungkin penulis-penulis yang sudah punya nama itu juga copas sana copas sini karena tuntutan redaksi media yang antri meminta tulisannya untuk dimuat di medianya.

Intinya, Indonesia masih punya banyak stok mahasiswa kritis dengan segala teori-teorinya yang mungkin bisa membantu negara melalui analisis mendalam lewat opini yang ditulisnya. Selain itu yang harus diperhatikan oleh media yaitu pembagian honor dengan cara mencairkan tepat waktu. Karena sebagian kecil motivasi dari mahasiswa untuk selalu mengasah kekritisannya beropini di koran adalah honor tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar