Bom Bunuh Diri dan Keterbelakangan Ideologi

Solo yang selama ini dikelan dengan kota damai harus menerima kenyataan pahit. Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah menjadi sasaran setelah kebaktian jam 11 (25/09/11). Setelah media online menurunkan berita, pemuka agama hingga aparat negara mengutuk perbuatan sadis tidak berperikemanusiaan tersebut.

Ketika Indonesia sekidit demi sedikit berusaha mengembalikan citra sebagai negara yang damai, dengan ini Indonesia harus menerima kenyataan pahit dan seakan upaya selama ini sia-sia dalam memperbaiki citra di mata dunia yang acap kali melabeli Indonesia sebagai negara "tidak aman".

Kenyataan ini adalah pil pahit yang harus kita telan. Indonesia masih belum aman, kendati petinggi-tinggi teroris di negeri tercinta ini sudah lama dilumpuhkan dengan usaha keras aparat kepolisian. Indonesia seakan tidak punya kemampuan dalam menumpas teroris hingga ke akarnya.

Indonesia menjadi negara yang perlu diwaspadai bagi wisatawan asing yang mau berlibur ke Indonesia. Negara loh jinawi dengan keindahan alamnya harus rusak lagi namanya di mata dunia.

Keamanan dan ketentraman antar ras dan agama sepertinya akan kembali menyulut (tapi semoga saja tidak). Berbagai prasangka antar pemeluk agama sudah mulai terdengar kasak-kusuknya. Dan inilaha yang tidak pernah di harapkan selama ini.

Keterberlakangan Ideologi

Bom diri dengan segala motifnya tetap saja dicap sebagai tindakan tanpa pikir panjang yang selalu dibayangi utopia surgawi dengan segala isi dan bidadari-bidadari yang akan menemaninya setelah mati.

Bom bunuh diri semakin membuktikan ketidak berhasilan pemerintah dalam program pemerataan pendidikan. Keterbelakangan dan sulitnya akases ilmu pengetahuan oleh sebagian banyak rakyat Indonesia menjadikan rakyatnya dengan metal murahan yang maunya ingin mengambil jalan pintas dalam segala urusannya.

Selebihnya dari doktrin tertentu. Bom bunuh diri adalah pelampiasan diri dari kefrustasian hidup yang tak pernah memberikan optimis dalam menjalani hari-hari penuh polemik para politikus kita. Mereka yang pernah memikirkan nasib rakyat dan membiarkan rakyat dalam kesengsaraan keputusasaan.

Bom bunuh diri menjadi jalan satu-satunya untuk keluar dengan tenang dari semrawut kehidupan. Melakukan bom bunuh diri adalah mental hasil cetakan aparat negara yang tak pernah memberi kesempatan hidup lebih layak kepada mereka. Mereka frustasi dengan politik pencitraan dan perseteruan dalam mempertahankan kekuasaan hingga lupa akan nasib rakyatnya.

Keterbelakangan ideologi yang pada akhirnya memunculkan sikap pemberontakan adalah hala lumrah ketika kita melihat kenyataan yang ada saat ini; persaingan hidup yang ketat ditengah krisis dan berbagai kebutuhan yang perlahan "membunuh" rakyat kecil.

Mental-mental yang memunculkan ideologi seperti ini sepertinya akan terus bertambah jika pemerintah kita tetap tidak mau mengubah sikapnya dalam memimpin negera ini. Pemerintah yang selalu mengandalkan kekuatan polisi akhirnya akan sia-sia saja dengan segala upaya dalam memberantas ideologi ini.

Lalu Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Masyarakat sudah tidak punya suara untuk memperingati pemerintah karena sudah habis teriak-teriak beberapa tahun terakhir ini tanpa mengasilkan apa-apa. Masyarakat sudah mulai acuh dengan segala tingkah pemerintah yang selalu menjadi headline news media.

Namun bagaimanapun kekerasan tetaplah musuh bersama. Berpegang teguh dalam satu suara harus menjadi modal utama kita dalam memerangi tindak kekerasan. Memulai dari keluarga adalah langkah kecil paling efektif dan berdampak besar dalam memerangi kekerasan.

Masyarakat boleh frustasi karena tingkah pemerintah yang tak pernah berpihak pada rakyat bawah. Tapi frustasi dalam memerangi kekerasan hukumnya haram. Dalam kondisi apapun kita, jika meyakini bahwa kekerasan berdampak buruk dan dapat menyebabkan ketidaktentraman antar sesama, maka dengan ini semangat memerangi kekerasan itu akan selalu berkobar.

0 komentar:

Posting Komentar