Aneka Cara Cabup Tampilkan Citra Religi


Mau tidak mau, elemen masyarakat bangsa ini harus belajar memahami suatu hal, yaitu politik pencitraan. Agar lebih bisa memfilter gembar-gembor politikus tentang dirinya ketika akan melangsungkan pelihan cabup, juga bisa menetapkan suatu pilihan berdasarkan hati nurani.

Dalam praksis demokrasi liberal pencitraan memang berpotensi memenangkan pertarungan politik. Tetapi, pencitraan yang begitu banal justru mengkristalisasi rekayasa demi mengubah sesuatu yang superfisial menjadi hakiki. Juga melalui pencitraan, seorang tokoh politik sengaja digambarkan sebagai sosok yang peduli nasib wong cilik.

Berbagai selogan diciptakan dan polesan kata semanis mungkin saat “berceramah” membuat masyarakat tersihir dengan janji-janji manis para cabup. Sang tokoh politik serta-merta diilustrasikan sebagai sosok yang bersedia hidup sederhana. Bahkan, sang tokoh politik digambarkan sebagai pribadi religius.

Maka, pencitraan mengubah dunia politik yang libidal menjadi seolah-olah humanistik. Secara demikian, tak terelakkan jika narsisme menemukan perwujudannya secara sangat vulgar melalui pencitraan. Seperti tiga kandidat cabup/cawabup Gresik periode 2010-2015 pasangan Husnul Khuluq-Musaffa'Noer (HUMAS), Bambang Suhartono- Abdullah Qonik (BANI) dan Sastro Soewito-Samwil (S2BY).

Dalam hal pencitraan religius, cabup/cawabup Gresik memanfaatkan ketaatan masyarakatnya Jawa Timur yang notabent masih kuat dalam memeluk agamanya. Bahkan salah satu dari tiga kandidat tersebut membawa massanya untuk melakukan sholat Dhuhur di Masjid Agung, Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo dan menghadirkan puluhan kyai yang dilanjutkan dengan doa bersama

Pentas politik cabup Gresik telah memanaskan para penganut agama. Terbukti, para cabup Gresik, ketika berjalan menuju KPU sambil mengumandangkan sholawat. Ada juga yang seakan tidak mau kalah saat berangkat dari kantor DPC partai yang mengusung dirinya, dengan ribuan massa yang dibawanya beriringan menuju Masjid Agung untuk melakukan Sholat A'sar dan doa bersama menuju kantor KPU.

Politik telah singgah ke tempat-tempat suci termasuk pemakaman sunan Giri. Masjid Malik Ibrahim pun tak luput dari wisata pencitraan religius para cabup dan cawabup Gresik tersebut.

Politik Tampilkan Citra Religi

Pertarungan memperebutkan jabatan politik kini tak bisa lepas lagi dari upaya politik pencitraan (lebih-lebih pencitraan religi), khususnya yang dilakukan para aktor politik lewat komunikasi antar masyarakat. Pencitraan itu bertujuan untuk menghasilkan persepsi bahwa aktor politik tersebut adalah pmimpin yang bijak dan selalu megnutamakan kepentingan rakyat.

Pencitraan politik dengan menampilkan tokoh politik sebagai pribadi religius, kini memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pentas politik di tanah air. Citra religi seseorang dapat diciptakan, dibangun dan diperkuat melalui proses kognitif dan afektif.

Pencitraan politik seseorang, dilakukan dengan kombinasi kedua pendekatan tersebut. Pendekatan kognitif mengacu pada pertimbangan rasional, sebaliknya pendekatan afektif mengacu pada pertimbangan emosi dan perasaan.

Dalam pendekatan pertama ini, ada asumsi bahwa hubungan antara seorang aktor politik dengan pemilih adalah hubungan transaksional yang rasional. Pemilih tidak begitu saja percaya terhadap program, janji-janji seorang kandidat atau iming-iming materi yang ditawarkan.

Dengan demikian dukungan politik yang diberikan pemilih kepada kandidat semata-mata karena kandidat dinilai memiliki kompetensi dan kapasitas sebagai aktor politik. Karena itu politik pencitraan seorang aktor politik sangat tergantung dari sejauh mana platform politik yang disusun dapat meyakinkan pemilih.

Sebaliknya pendekatan emosional cocok digunakan kepada pemilih yang belum cukup terdidik, yang cendrung fanatik terhadap suatu ajaran. Lebih tepatnya, masyarakat yang tidak memiliki kapasitas untuk berpikir dan menganalisa apa yang mereka butuhkan dan bagaimana memenuhinya.

Gaya politik pencitraan tak ubahnya seperti pemain sulap. Permainan sulap membuat orang menjadi kagum dan berdecak. Seperti halnya David Copperfield dengan senjata ampuhnya “sim salabin” membuat mata penonton melotot berdecak. Begitu pula dengan para cabup yang telah berhasil meraih kepercayaan masyarakat karena manuver pencitraan religinya.

Hasrat merebut kekuasaan dapat mengaburkan mata, sehingga bisa melakukan apa saja. Menyulap diri menjadi sosok yang religius. Apapun dilakukan termasuk membersihkan diri dari kelam masa lalu. Kelakuan dipoles, didesain sedemikian rupa agar kelihatan memikat, bersih, punya nilai jual sehingga pantas untuk dipilih. Hasrat itu, mengalahkan hasrat politik pembangunan yang bertujuan memperbaiki negeri ini.

Ironi Pencitraan

Kini, kita menyaksikan pencitraan yang berlebihan mulai mengganggu akal sehat. Pencitraan yang tak habis-habisnya membombardir ruang publik justru mempertontonkan ucapan dan laku seorang tokoh melampaui kelaziman. Contohnya, pencitraan yang terlampau obsesif mewarnai kepemimpinan.

Hal yang kemudian tak terlekkan mencuat ke permukaan ialah tendensi jajaran pemerintahan dalam garis komando kepemimpinan regional. Seluruh jajaran pemerintahan merasa telah melakukan hal-hal fundamental tatkala sukses menggebrak dengan pencitraan. Di sini kita menemukan kembali sabdo pandito ratu: “segala sesuatu dianggap final tatkala sudah diucapkan, tanpa harus dilaksanakan”.

Hal yang kemudian menarik digarisbawahi adalah ini. Sedahsyat apapun politik pencitraan digembar-gemborkan ke tengah kancah kehidupan masyarakat, toh pada akhirnya terbentur limitasi-limitasi tertentu. Kebenaran absolut memiliki kemampuan korektif terhadap pencitraan. Tatkala pencitraan mengingkari kebenaran absolut, maka seketika itu pula pencitraan tampak janggal dan mulai kehilangan rasionalitasnya. Pencitraan tampak mencolok sebagai trik yang disesaki aura tipu-menipu.





7 komentar:

  1. Selamat berkompetisi demi rakyat para cabup...
    semoga tetap aman dan damai ...
    junjung tinggi sportivitas

    BalasHapus
  2. Brkunjung lg ane sob, wah bkal rame ya ;-), mga aj lancr and yg trplih bsa mengayomi..

    BalasHapus
  3. wah politik, semoga lancar aja deh cabupnye :)

    BalasHapus
  4. politik lagi politik lagi.. sampi2 hampir bosen arfi dengarnya... salam kenal dari surabaya..;)

    BalasHapus
  5. bagiku pencitraan skadang bisa menipu...

    salam kenal

    BalasHapus
  6. @Ratasoe; thanks sob...
    @Arfi; politik emang kebanyakan busuknya
    @Seiri Hanako; tentu saja, karena kadang tidak mencerminkan dengan orang yang sesungguhnya. makanya jangan belik kucing dalam karung, iya ga?

    BalasHapus